Rabu, 06 Januari 2016

MEA... Siapa (yang) Senang??



MEA... Siapa (yang) Senang??

Sudah hari ketujuh dalam bulan Januari di tahun dua ribu enam belas. Siang kemarin, secara tidak sengaja baca running text sebuah televisi swasta “pernyataan Joko widodo, MEA: tenaga kerja asing bakalan membanjiri Indonesia”.  Jadi ingat, sewaktu presentasi di kegiatan seminar nasional yang selenggarakan di FISIP UT Pondok Jabe Jakarta Selatan. Tema seminar waktu itu “Peluang dan Tantangan Indonesia dalam komunitas ASEAN 2015”. Pemakalah yang berpartisipasi pada kegiatan tersebut ada para dosen, mahasiswa, dan juga praktisi. Key note speakernya Wakil menteri luar negeri RI, ang tidak bisa selfie bareng beliau... Satu hal yang saya garis bawahi bahwa MEA akan dimulai pada akhir 2015. Nah! Sekarang sudah 2016 artinya kesepakatan-kesepakan dalam ASEAN sudah mulai dijalankan.
Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional, negara-negara anggota telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan konsep yang mulai digunakan dalam Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II), Bali, Oktober 2003. MEA adalah tujuan akhir integrasi ekonomi seperti dicanangkan dalam ASEAN Vision 2020 “stabil, sejahtera dan menjadi kawasan yang berdaya saing tinggi dengan melalui pengembangan ekonomi yang adil, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi masyarakat ASEAN”. Berdasarkan Cebu Declaration pada 13 Januari 2007 (12th ASEAN Summit) memutuskan untuk mempercepat pembentukan MEA menjadi 2015 guna memperkuat daya saing ASEAN dalam menghadapi kompetisi global, terutama dari China dan India.
Kesepakatan  terbentuknya MEA, maka terbentuk pasar tunggal dan terbuka yang berbasis produksi, terjadi pergerakan bebas menyangkut tenaga kerja, investasi, serta modal. Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN akan menjadi negara yang akan mengikuti kesepakatan tersebut.  Konsekuensinya, Indonesia akan dibanjiri oleh produk-produk luar negeri. Hal itu berarti pustakawan ASEAN dapat bergerak bebas dan bekerja di sepuluh negara anggota ASEAN. Dapat dipahami bahwa pustakawan Indonesia dapat bekerja di negara anggota ASEAN, sebaliknya tenaga profesi informasi mereka dapat memasuki lapangan kerja Indonesia. SDM  Indonesia dapat “terancam” apabila tidak memiliki nilai tawar yang tinggi. Persiapan yang harus dilakukan dimulai dari manusia itu sendiri, dalam hal ini pustakawan.
Pustakawan, harus memiliki strategi dalam menghadapi MEA, meliputi:
1.      Melaksanakan kode etik profesi
Kode etik merupakan standar aturan tingkah laku, yang berupa norma-norma yang dibuat oleh organisasi profesi (dalam hal ini Ikatan Pustakawan Indonesia) yang menjadi landasan perilaku anggotanya  (pustakawan) dalam menjalankan peran dan tugas profesinya dalam masyarakat. Dengan memahami dan mengimplementasikan setiap butir yang tertuang dalam kode etik, pustakawan dapat memberikan standar kualitas layanan. Dan, menghindarkan pemustaka dari perbuatan yang merugikan. Adanya standar layanan diharapkan pemustaka mendapat kepuasan dan dapat melakukan komplain ketika merasa dirugikan yang akan membentuk serta mempertahankan citra positif perpustakaan. Hal ini menjadi tantangan karena kode etik tidak dengan mudah dapat diterapkan. Kode etik pustakawan hendaknya tidak sekedar tulisan namun dapat menjadi bagian yang melekat dalam tiap diri perilaku pustakawan. Melaksanakan kode etik pustakawan menjadi strategi dalam menghadaapi MEA, karena pustakawan dapat menunjukkan kinerjanya secara profesional.
2.      Komitmen terhadap profesi
Menurut Michael dalam Purwono (2014) komitmen adalah kegiatan yang berhubungan dengan kesetiaan terhadap organisasi. Komitmen terdiri dari tiga komponen yaitu pertama, identifikasi dengan organisasi; kedua, keinginan untuk tetap berkarya di organisasi tempat bekerja; dan ketiga kemauan untuk bekerja keras demi organisasi di mana mereka bekerja. Selanjutnya, komitmen merupakan sikap menyesuaikan diri secara mantap pada sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau komunitas tertentu. Pustakawan dapat menunjukkan komitmennya dengan tetap berkarya meski “mungkin” tidak sesuai dengan keinginan pribadi.  Dengan demikian dapat dipahami, seorang pustakawan yang memiliki komitmen terhadap profesinya akan memiliki dorongan untuk  memberikan yang terbaik dalam meningkatkan prestasi sehingga akan lebih siap dalam menghadapi MEA.
3.      Mau keluar dari “zona nyaman”
Lingkungan kerja pustakawan (jenis perpustakaan) dapat  berpengaruh terhadap kinerja pustakawan. Besar-kecilnya dukungan dari lembaga induk dipengaruhi oleh pemahaman pejabat terhadap arti pentingnya keberadaan sebuah perpustakaan. Hal ini karena melibatkan profesi lain dan banyaknya kepentingan. Lingkungan yang kurang mendukung seakan membatasi  ruang gerak sebagian pustakawan yang merasa tidak bisa berbuat apa-apa dan seolah-olah nasib pustakawan ditentukan oleh atasannya. Suasana atau atmosfir  kerja yang tercipta oleh rekan seprofesi yang hanya  menerima keadaan  terkadang membuat terlena dalam rutinitas kerja yang akhirnya pustakawan tersebut masuk ke dalam “zona nyaman”. Padahal zona nyaman ini kalau tidak disikapi dengan baik secara perlahan akan berakibat fatal yakni “kematian”.
4.      Pengembangan diri
“Tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri” begitulah kata pepatah. Memang demikian, pustakawan harus membuka diri terhadap perubahan yang terjadi. Potensi yang dimiliki pustakawan seperti pengetahuan, keterampilan, rasa empati sebaiknya terus diperbaharui. Manfaat pengembangan diri bagi individu adalah meningkatkan kompetensi dan bisa juga memunculkan ide-ide baru, yang secara tidak langsung berdampak positif  bagi organisasi. Untuk mengembangkan diri pustakawan dapat menjalin kerjasama dengan rekan seprofesi ataupun dengan profesi lain. Pustakawan harus mau mengembangkan kompetensi yang dimiliki agar siap  bersinergi dengan pustakawan dari negara-negara anggota ASEAN.
5.      Memiliki kompetensi tersertifikasi
Kompetensi merupakan kemampuan seseorang yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dapat terobservasi dalam menyelesaikan standar kinerja yang  ditetapkan.  Sertifikasi pustakawan dilakukan oleh lembaga sertifiklasi profesi (LSP). LSP merupakan lembaga pelaksana uji kompetensi dan sertifikasi yang telah diakreditasi dan mendapat lisensi dari Badan Nasional Standardisasi Profesi. Uji kompetensi dilakukan di Jakarta Tempat Uji Kompetensi Perpusnas. Pustakawan yang telah memiliki kompetensi tersertifikasi  diharapkan dapat menunjukkan kinerja profesional dan memiliki daya saing dalam MEA.


Tulisan di atas merupakan cuplikan dari presentasi saya, secara lengkap dapat di baca di laman semnas.fisip.ut.ac.id/prosiding Akhirnya, kembali ke personal yang merasa “mampu” akan senang karena kesempatan kariernya terbuka lebar, dan sebaliknya. Tetapi yang pasti! siap tidak siap, senang tidak senang, MEA sudah terbentuk.
Bagaimana, sudah cukup sebagai penonton saja??