MEA... Siapa (yang)
Senang??
Sudah
hari ketujuh dalam bulan Januari di tahun dua ribu enam belas. Siang kemarin, secara
tidak sengaja baca running text sebuah televisi swasta “pernyataan Joko widodo,
MEA: tenaga kerja asing bakalan membanjiri Indonesia”. Jadi ingat, sewaktu presentasi di kegiatan
seminar nasional yang selenggarakan di FISIP UT Pondok Jabe Jakarta Selatan.
Tema seminar waktu itu “Peluang dan Tantangan Indonesia dalam komunitas ASEAN
2015”. Pemakalah yang berpartisipasi pada kegiatan tersebut ada para dosen, mahasiswa,
dan juga praktisi. Key note speakernya Wakil menteri luar negeri RI, ang tidak
bisa selfie bareng beliau... Satu hal yang saya garis bawahi bahwa MEA akan
dimulai pada akhir 2015. Nah! Sekarang sudah 2016 artinya kesepakatan-kesepakan
dalam ASEAN sudah mulai dijalankan.
Sejak
dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional, negara-negara anggota telah
meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu agenda utama yang perlu
dikembangkan. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan konsep yang mulai
digunakan dalam Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II), Bali,
Oktober 2003. MEA adalah tujuan akhir integrasi ekonomi seperti dicanangkan dalam
ASEAN Vision 2020 “stabil, sejahtera dan menjadi kawasan yang berdaya saing
tinggi dengan melalui pengembangan ekonomi yang adil, mengurangi kemiskinan dan
kesenjangan sosial ekonomi masyarakat ASEAN”. Berdasarkan Cebu Declaration pada
13 Januari 2007 (12th ASEAN Summit) memutuskan untuk mempercepat
pembentukan MEA menjadi 2015 guna memperkuat daya saing ASEAN dalam menghadapi
kompetisi global, terutama dari China dan India.
Kesepakatan terbentuknya MEA, maka terbentuk pasar
tunggal dan terbuka yang berbasis produksi, terjadi pergerakan bebas menyangkut
tenaga kerja, investasi, serta modal. Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN
akan menjadi negara yang akan mengikuti kesepakatan tersebut. Konsekuensinya, Indonesia akan dibanjiri oleh
produk-produk luar negeri. Hal itu berarti pustakawan ASEAN dapat bergerak
bebas dan bekerja di sepuluh negara anggota ASEAN. Dapat dipahami bahwa
pustakawan Indonesia dapat bekerja di negara anggota ASEAN, sebaliknya tenaga
profesi informasi mereka dapat memasuki lapangan kerja Indonesia. SDM Indonesia dapat “terancam” apabila tidak
memiliki nilai tawar yang tinggi. Persiapan yang harus dilakukan dimulai dari
manusia itu sendiri, dalam hal ini pustakawan.
Pustakawan, harus
memiliki strategi dalam menghadapi MEA, meliputi:
1. Melaksanakan
kode etik profesi
Kode
etik merupakan standar aturan tingkah laku, yang berupa norma-norma yang dibuat
oleh organisasi profesi (dalam hal ini Ikatan Pustakawan Indonesia) yang
menjadi landasan perilaku anggotanya
(pustakawan) dalam menjalankan peran dan tugas profesinya dalam
masyarakat. Dengan memahami dan mengimplementasikan setiap butir yang tertuang
dalam kode etik, pustakawan dapat memberikan standar kualitas layanan. Dan,
menghindarkan pemustaka dari perbuatan yang merugikan. Adanya standar layanan
diharapkan pemustaka mendapat kepuasan dan dapat melakukan komplain ketika
merasa dirugikan yang akan membentuk serta mempertahankan citra positif
perpustakaan. Hal ini menjadi tantangan karena kode etik tidak dengan mudah
dapat diterapkan. Kode etik pustakawan hendaknya tidak sekedar tulisan namun
dapat menjadi bagian yang melekat dalam tiap diri perilaku pustakawan.
Melaksanakan kode etik pustakawan menjadi strategi dalam menghadaapi MEA,
karena pustakawan dapat menunjukkan kinerjanya secara profesional.
2. Komitmen
terhadap profesi
Menurut
Michael dalam Purwono (2014) komitmen adalah kegiatan yang berhubungan dengan
kesetiaan terhadap organisasi. Komitmen terdiri dari tiga komponen yaitu
pertama, identifikasi dengan organisasi; kedua, keinginan untuk tetap berkarya
di organisasi tempat bekerja; dan ketiga kemauan untuk bekerja keras demi
organisasi di mana mereka bekerja. Selanjutnya, komitmen merupakan sikap
menyesuaikan diri secara mantap pada sasaran yang akan dicapai oleh seseorang
atau komunitas tertentu. Pustakawan dapat menunjukkan komitmennya dengan tetap
berkarya meski “mungkin” tidak sesuai dengan keinginan pribadi. Dengan demikian dapat dipahami, seorang
pustakawan yang memiliki komitmen terhadap profesinya akan memiliki dorongan
untuk memberikan yang terbaik dalam
meningkatkan prestasi sehingga akan lebih siap dalam menghadapi MEA.
3. Mau
keluar dari “zona nyaman”
Lingkungan kerja
pustakawan (jenis perpustakaan) dapat
berpengaruh terhadap kinerja pustakawan. Besar-kecilnya dukungan dari
lembaga induk dipengaruhi oleh pemahaman pejabat terhadap arti pentingnya
keberadaan sebuah perpustakaan. Hal ini karena melibatkan profesi lain dan
banyaknya kepentingan. Lingkungan yang kurang mendukung seakan membatasi ruang gerak sebagian pustakawan yang merasa
tidak bisa berbuat apa-apa dan seolah-olah nasib pustakawan ditentukan oleh
atasannya. Suasana atau atmosfir kerja
yang tercipta oleh rekan seprofesi yang hanya
menerima keadaan terkadang
membuat terlena dalam rutinitas kerja yang akhirnya pustakawan tersebut masuk
ke dalam “zona nyaman”. Padahal zona nyaman ini kalau tidak disikapi dengan
baik secara perlahan akan berakibat fatal yakni “kematian”.
4. Pengembangan
diri
“Tidak
ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri” begitulah kata
pepatah. Memang demikian, pustakawan harus membuka diri terhadap perubahan yang
terjadi. Potensi yang dimiliki pustakawan seperti pengetahuan, keterampilan,
rasa empati sebaiknya terus diperbaharui. Manfaat pengembangan diri bagi
individu adalah meningkatkan kompetensi dan bisa juga memunculkan ide-ide baru,
yang secara tidak langsung berdampak positif
bagi organisasi. Untuk mengembangkan diri pustakawan dapat menjalin
kerjasama dengan rekan seprofesi ataupun dengan profesi lain. Pustakawan harus
mau mengembangkan kompetensi yang dimiliki agar siap bersinergi dengan pustakawan dari negara-negara
anggota ASEAN.
5. Memiliki
kompetensi tersertifikasi
Kompetensi
merupakan kemampuan seseorang yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap
kerja yang dapat terobservasi dalam menyelesaikan standar kinerja yang ditetapkan.
Sertifikasi pustakawan dilakukan oleh lembaga sertifiklasi profesi
(LSP). LSP merupakan lembaga pelaksana uji kompetensi dan sertifikasi yang
telah diakreditasi dan mendapat lisensi dari Badan Nasional Standardisasi
Profesi. Uji kompetensi dilakukan di Jakarta Tempat Uji Kompetensi Perpusnas.
Pustakawan yang telah memiliki kompetensi tersertifikasi diharapkan dapat menunjukkan kinerja
profesional dan memiliki daya saing dalam MEA.
Tulisan
di atas merupakan cuplikan dari presentasi saya, secara lengkap dapat di baca
di laman semnas.fisip.ut.ac.id/prosiding Akhirnya, kembali ke personal yang
merasa “mampu” akan senang karena kesempatan kariernya terbuka lebar, dan
sebaliknya. Tetapi yang pasti! siap tidak siap, senang tidak senang, MEA sudah
terbentuk.
Bagaimana, sudah cukup sebagai
penonton saja??